Selasa, 24 Maret 2015

Self Efficacy dalam perspektif Teori Sosial Kognitif Bandura





 





Teori Perilaku Penunjang
(TEORI SOSIAL KOGNITIF)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan dan Evaluasi Promosi Kesehatan




Oleh:
                              Kelompok 1 sub 3:
Putri Suci Wulansari                    (122110101053)
Brahma Mahendra P. M               (122110101152)
Della Rahmayasari Amin             (122110101169)
Sri Ulandari                                  (122110101146)
Herlina Wati                                 (132110101105)




FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2015
A.  TEORI PERILAKU PENUNJANG
1.    Perilaku
Menurut Lewit seperti yang dikutip oleh Notoadmojo (1993), perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan di dalam diri seseorang.
Perilaku menurut Skinner (1938), merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Pengertian itu dikenal dengan teori S-O-R (stimulus-organisme-respons).
Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skiner maka perilaku kesehatan (healt behavior) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor – faktor yang mempengaruhi sehat sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoadmodjo, 2010).
Sedangkan menurut Blum (1974), perilaku merupakan faktor kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau mayarakat (Maulana, 2009)

B.  TEORI SOSIAL KOGNITIF
1.        Sosial
Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika dilihat dari asal katanya, sosial berasal dari kata “socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama – sama.

2.        Kognitif
Scheerer (1954) kognitif merupakan proses sentral yang menghubungkan peristiwa – peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal) diri sendiri. Festinger (1957) kognisi adalah elemen – elemen kognitif, yaitu hal – hal yang diketahui oleh seseorang tentang dirinya sendiri, tentang tingkah lakunya, dan tentang keadaan di sekitarnya. Sedangkan menurut Neisser (1967), kognisi adalah proses yang mengubah, mereduksi, memperinci, menyimpan, mengungkapkan, dan memakai setiap masukan(input)yang datang dari alat indera (Sarwono, 2010).

C.      Teori Sosial Kognitif A. Bandura
1.    Albert Bandura
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada. Beliau mendapat gelar B.A. dari University of British Columbia, kemudian M.A. pada 1951, dan Ph.D pada 1952 dari University of Lowa. Beliau magang pascadoktoral di Witchita Guidance Center pada 1953 dan kemudian bergabung di Stanford University.
Saat di Stanford University beliau bekerjasama dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression yang terbit pada tahun 1959. Saat berada di University of Lowa, Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard (1941). Pada tahun 1960 an Bandura mulai menulis serangkaian artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan memperluas topik bahasannya hingga belajar observasional. Bandura menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA award atas jasa – jasanya dalam Distinguished Scientific Contribution tahun 1980.
Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (sosial learning theory), salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen kognitif dari pemikiran, pemahaman dan evaluasi. Albert Bandura menjabat sebagai ketua APA (American Psychological Association) pada tahun 1974 dan pernah dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1975.Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama mendapat gelar doktor sebagai pekerja di makmalnya. Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme.
2.    Definisi Teori Kognitif Sosial
Teori ini menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi dari rangsang dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement) memang memperkuat tingkah laku balas (response), tetapi dalam proses belajar sosial hal ini tidak terlalu penting (Novia, 2012).
Teori sosial kognitif merupakan salah satu teori behavioral, yang merupakan pengembangan dari teori belajar sosial. Perbedaan dengan teori belajar lain yaitu teori sosial kognitif mengembangkan unsur kognitif dan pengaruh sosial. Bandura menekankan adanya pengaruh sosial dalam belajar perilaku. Bagi Bandura interaksi sosial penting dalam belajar perilaku. Teori sosial kognitif juga menjelaskan bahwa pengaruh sosial dan pengaruh kognitif mempengaruhi seseorang dalam belajar perilaku. Proses belajar yang ditekankan dalam teori sosial kognitif adalah proses belajar yang tidak langsung atau melalui observasi (Prawitasari, 2006).
3.        Determinisme Resiprokal (Reciprocal Determinism)
Bandura mengembangkan model Determinisme Resiprokal yang terdiri dari tiga faktor utama, yaitu perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran, yakni faktor lingkungan mempengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif) mempengaruhi perilaku dan sebagainya. Bandura menggunakan istilah person, tapi memodifikasi menjadi person (kognitif) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.

Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif)memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankanBandura (1997,2001) pada masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa self-efficacy berpengaruh besar terhadap perilaku.
4.        Self Efficacy
Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai “keyakinan manusia pada kemampuan mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan kejadian-kejadian di lingkungannya” (dalam Feist & Feist, 2006).
Bandura mendefinisikan self efficacy sebagai judgement seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Bandura menggunakan istilah self – efficacy mengacu pada keyakinan (belief) tentang kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian hasil. Dengan kata lain, self – efficacy adalah keyakinan penilaian berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk sukses dalam tugas – tugasnya.
Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dan berusaha untuk menilai tingkatan dan kekuatan di seluruh kegiatan dan konteks. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.
Selain itu Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seorang individu terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan faktor kunci sumber tindakan manusia (human egency), “apa yang orang pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi bagaimana mereka bertindak”. Di samping itu, keyakinan efficacy juga mempengaruhi cara atas pilihan tindakan seseorang, seberapa banyak upaya yang mereka lakukan, seberapa lama mereka akan tekun dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, seberapa kuat ketahanan mereka menghadapi kemalangan, seberapa jernih pikiran mereka merupakan rintangan diri atau bantuan diri, seberapa banyak tekanan dan kegundahan pengalaman mereka dalam meniru (copying) tuntunan lingkungan, dan seberapa tinggi tingkat pemenuhan yang merekawujudkan.
Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy mempengaruhipilihan orang dalam membuat dan menjalankan tindakanyang mereka kejar. Individu cenderung berkonsentrasi dalam tugas yang mereka rasakan mampu dan percaya dapat menyelesaikannyaserta menghindari tugas-tugas yang tidak dapat merekakerjakan. Keyakinan efficacy juga membantu menentukan sejauh manausaha yang akan dikerahkan orang dalam suatu aktivitas, seberapalama mereka akan gigih ketika menghadapi rintangan, dan seberapaulet mereka akan menghadapi situasi yang tidak cocok.
Keyakinan efficacy dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dan menginterpretasi suatu kejadian. Mereka yang memiliki  self-efficacy yang  rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi  tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami  gejala negatif dari stres. Sementara mereka yang memiliki  self-efficacy yang tinggi  akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).
5.        Jenis self-efficacy
Pandangan Hughes, Ginnett & Curphy (2009) melihat self-efficacy terdiri dari dua jenis;
a.        Positive self-efficacy
Self-efficacy dikatakan positif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk menciptakan apa yang ia inginkan atau harapkan.
b.        Negative self-efficacy. 
Self-efficacy yang negatif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang membuat dirinya lemah atau melemahkan dirinya sendiri.
Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy yang negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan. Menurut Feist & Feist (2008), manusia dapat memiliki self-efficacy yang tinggi di satu situasi namun rendah di situasi lain.

6.        Dimensi self-efficacy
Menurut Bandura (1997)  ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu:
a.      Level
Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi.Penerimaan dan keyakinan seseorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan. Dalam Zimerman (2003) Level terbagi atas 3 bagian, yaitu:
1.    Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.
2.    Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
3.    Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit.
b.      Generality
Generality sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.
c.       Strength
Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.

7.        Sumber Self-efficacy
Menurut Bandura ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu:
a.         Enactive mastery experience
Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai faktor terpenting pembentuk self-efficacy seseorang. “Kesuksesan meningkatkan nilai efficacy dan pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi karena refleksi kurangnya usaha atau keadaan eksternal yang tidak cocok”. Perasaan efficacy yang kuat mungkin dapat dikembangkan melalui pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan, orang cenderung menganggap asal kegagalan pada beberapa faktor eksternal seperti usaha yang tidak cukup atau strategi yang tidak tepat. Usaha dalam melaksanakan tugas merupakan faktor lain yang mempengaruhi efficacy. Ketika seseorang mengeluarkan usaha yang besar dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit, kesuksesan tidak akan dengan kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan akan meruntuhkan self-efficacynya. Sebaliknya, performan yang rendah dengan derajat usaha yang lemah memiliki sedikit dampak pada keyakinan self-efficacy seseorang, tetapi kesuksesan dengan sedikit usaha membawa performansi mereka pada tingkat selfefficacy yang tinggi.
b.        Vicarious experience
Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang/tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura, 1997). Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh prilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997).
c.         Verbal persuasion
Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997).
d.        Physiological state
Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu diinterpretasikan.Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut.Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.


8.        Proses – proses Self Efficacy
Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi.
a.       Proses kognitif
Proses kognitif merupakan proses berfikir, didalamya termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu yang selfefficacy- nya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).
b.      Proses motivasi
Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997). Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator, teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki self-efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self-efficacy-nya rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan), dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.
c.        Proses afektif
Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesarbesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).
d.      Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian.Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka.Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut.Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997).

9.        Faktor – faktor yang Mempengaruhi
Menurut Bandura (1997) tinggi rendahnya self-efficacy seseorang dalam tiap tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu. Menurut Bandura (1997) ada beberapa yg mempengaruhi self-efficacy, antara lain:
a.    Jenis kelamin
Orang tua sering kali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan perempuan.Zimmerman (Bandura, 1997) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi laki-laki dan perempuan.Ketika laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali meremehkan kemampuan mereka.Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya.
Orang tua menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibanding laki-laki, walapun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda.Semakin seorang wanita menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya.Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria.
b.    Usia
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama masa kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam mengatasi suatu hal yang terjadi jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Individu yang lebih tua akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki sepanjang rentang kehidupannya.
c.    Tingkat pendidikan
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat diterima individu pada tingkat pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang yang lebih tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal, selain itu individu yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya.
d.   Pengalaman
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi ataupun perusahaan dimana individu bekerja. Self-efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerjanya tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self-efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya selama melalukan pekerjaan.

10.    Aplikasi dalam Kehidupan Sehari – hari
Berikut merupakan contoh aplikasi teori self efficacy dalam teori kognitif sosial Bandura:
a.         Orang yang mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan pasti mengalami trauma dan penurunan motivasi untuk menjalani hidup. Disini self efficacy dari orang tersebut menjadi rendah akibat kecelakaan yang dia alami. Peran dari orang terdekat sangat dubutuhkan untuk meningkatkan self efficacy penderita misalnya memberikan motivasi dan membantu untuk belajar berjalan kembali. Peran tersebut merupakan salah satu sumber self efficacy yang berasal dari orang lain. Sehingga self efficacy dari penderita menjadi meningkat.
b.        Dalam konseling karier.
Dengan memperhatikan keempat sumber utama self efficacy konselor karier dapat merancang intervensi individual dan kelompok yang lebih efektif bagi laki – laki maupun perempuan.
c.         Seseorang yang berkerjakeras mendirikan suatu usaha dari awal hingga sukses. Namun, karena dia terlalu nyaman dengan kesuksesannya, akhirnya dia tidak menghasilkan inovasi – inovasi baru dalam usahanya, yang akhirnya perusahaannya menjadi tertinggal dari perusahaan yang lainnya. Pengusaha tersebut menjadi bangkrut. Namun karena dia memiliki kerja keras, dia berusaha untuk membangun bisnisnya kembali dengan berkaca pada pengalamannya dulu. Self efficacy pengusaha tersebut menjadi meningkat. Si pengusaha tersebut memotivasi dirinya dan dia meningkatkan keyakinannya bahwa dia mampu melakukan apa yang dia harapkan serta bekerja keras untuk dapat melakukan apa yang ia inginkan..
d.        Seorang murid yang self-efficiacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal.

11.         Kelebihan Teori
Teori Kognitif Sosial lebih lengkap dibandingkan teori belajar yang lain karena menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Perilaku kognitif meyakini pola pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon yang saling terkait dan membentuk jaringan dalam otak manusia, dimana faktor kognitif akan menjadi penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak. Teori ini juga menjelaskan secara rinci berbagai proses konsep kognitif seperti self efficacy.
12.         Analisis Jurnal
Hubungan antara dukungan orang tua, teman sebaya, dan iklan rokok dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Bonyolali

Madrasah tersebut memiliki jumlah siswa 420 yang terdiri dari 173 siswa laki-laki dan 247 siswa perempuan. Dari hasil wawancara dengan beberapa siswa, mereka mengatakan bahwa sebanyak kurang lebih 80% dari jumlah siswa laki-laki kelas XI dan XII atau 89 siswa disana adalah perokok, mereka merokok baik pada saat jam-jam istirahat maupun setelah pulang sekolah
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara orang tua, teman sebaya dan iklan rokok dengan perilaku merokok Pada Siswa Laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali. Berikut adalah hasil penelitian:
1.        Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kategori hubungan kurang kuat
Siswa laki-laki Madrasah Aliyah negeri 2 boyolali merokok ada hubungannya dengan dukungan orang tua, perilaku ini didukung karena faktor hubungan dalam keluarga tidak erat, anak ingin diakui sebagai orang dewasa/mandiri, sikap kedua orang tua yang membolehkan anak untuk merokok, pola asuh yang kurang baik, tidak adanya pengawasan dari orang tua karena anak jarang di rumah (kos/pondok pesantren). Remaja sebelum merokok berpikir semakin dirinya ingin di akui sebagai orang dewasa, maka dia itu semakin berpikiran bahwa merokok itu positif ke dirinya sendiri, karena motivasi tersebut dibangkitkan oleh kognitif yang biasanya berperilaku sesuai dengan keyakinannya sendiri didorong oleh faktor keluarga yang memang kurang pengawasan dari orang tua serta memang jarang dirumah.
2.        Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sebaya dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kategori hubungan kuat
Hubungan perilaku merokok laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kuatnya pengaruh teman sebaya. Adanya motivasi anak berusaha menemukan jati dirinya, ketika remaja bergabung dengan  kelompok sebayanya maka seorang remaja akan dituntut untuk berperilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut, maka apabila ada anggota kelompok merokok, maka remaja cenderung mengikuti tanpa memperdulikan akibatnya, hal ini juga di dukung lingkungan sekolah Madrasah Aliyah, dimana di sekolah ini kental sekali dengan pengajaran agama Islam. Pengetahuan anak tentang agama Islam merupakan penyaring responden dengan perilaku-perilaku yang kurang baik, salah satunya perilaku merokok.
3.        Terdapat hubungan yang signifikan iklan rokok dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kategori hubungan cukup kuat.
Tidak dijelaskan mengapa rokok memiliki hubungan cukup kuat dengan iklan rokok pada perilaku merokok oleh siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali. Peneliti hanya bermain dengan perhitungan dengan kriteria uji

Hasil dari penelitian bahwa terdapat hubungan yang kurang kuat dukungan orang tua dalam menghentikan perilaku merokok siswa, disisi lain faktor teman sebaya dan iklan rokok memiliki hubungan yang cukup kuat dalam perilaku merokok. Pengaruh dari teman sebaya sangat berpengaruh dengan perilaku merokok siswa karena terdapat kecenderungan untuk mengikuti budaya yang ada di dalam kelompoknya, bahkan ada beberapa kelompok yang menuntut untuk berperilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut. Sama halnya dengan adanya pengaruh iklan rokok dengan perilaku merokok siswa.Dari kedua faktor tersebut jika kita hubungkan dengan sumber-sumber self efficacy yang di utarakan Bandura, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku merokok siswa.
Seorang siswa yang melihat sesuatu yang baru dan menganggapnya menarik bagi dirinya cenderung untuk mengikuti hal tersebut tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya.Mayoritas dari mereka hanya ingin diterima disuatu kelompok dan mengikuti budaya yang ada di dalam kelompok tersebut.Pengaruh persuasi verbal dari teman kelompok merupakan salah satu penyebab dari timbulnya perilaku merokok. Keadaan fisiologis siswa yang tergolong usia remaja juga berperan dalam penguatan motivasi untuk berperilaku merokok karena karakteristik remaja masih mencari jati diri dan rasa penasaran, yang mendorong untuk mengikuti perilaku merokok. Peran pendampingan orang tua dan guru sangat dibutuhkan untuk mengarahkan perilaku siswa agar tidak menyimpang.

Ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu:
a.         Enactive mastery experience
Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai faktor terpenting pembentuk self-efficacy seseorang.
Sikap permisif orang tua dengan perilaku merokok anak dan ajakan teman sebaya merupakan faktor yang dominan mempengaruhi perilaku merokok anak. Meskipun dukungan orang tua dengan perilaku merokok siswa menunjukkan rata-rata bahwa orang tua cukup mendukung dan tidak mendukung, tetapi perilaku merokok siswa justru dalam kategori tinggi. Hal ini di akibatkan karena kurangnya pengawasan atau kontrol dari orang tua terhadap perilaku merokok anak dikarenakan ada sebagian anak atau siswa tersebut jarang ada dirumah dikarenakan kos dan ada yang di pondok pesantren..
b.        Vicarious experience
Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy.
Remaja pada umumnya bergaul dengan sesama mereka, karakteristik persahabatan remaja dipengaruhi oleh kesamaan: usia, jenis kelamin dan ras. Kesamaan dalam menggunakan obat-obatan, merokok sangat berpengaruh kuat dalam pemilihan teman. (Yusuf, 2006). Dalam pedoman kesehatan jiwa remaja (2008) dijelaskan bahwa remaja lebih banyak berada diluar rumah dengan dengan teman sebayanya. Jika dapat dimengerti bahwa sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga misalnya, jika remaja sama berperilaku merokok  dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk dapat diterima oleh kelompok menjadi lebih besar dan remaja cenderung mengikuti tanpa memperdulikan akibatnya. Didalam kelompok sebaya, remaja akan berusaha menemukan jati dirinya.
Hal ini juga di dukung lingkungan sekolah Madrasah Aliyah, dimana di sekolah ini kental sekali dengan pengajaran agama Islam. Pengetahuan anak tentang agama Islam merupakan penyaring responden dengan perilaku-perilaku yang kurang baik, salah satunya perilaku merokok.

c.         Verbal persuasion
Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari.
Pengaruh kelompok sebaya dengan perilaku beresiko kesehatan pada remaja dapat terjadi melalui mekanisme peer sosialization, dengan arah pengaruh berasal kelompok sebaya, artinya ketika remaja bergabung dengan dengan kelompok sebayanya maka seorang remaja akan dituntut untuk berperilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut.
d.        Physiological state
Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya..Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.
Dalam penelitian ini, responden adalah seorang remaja. Mereka tidak terlalu menghadapi dampak perilaku merokok. Bahkan efek kecanduan, cemas dan khawatir masih belum terlalu dirasakan pada fisik yang di alaminya.





Daftar Pustaka:
Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maulana, H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: 2009
Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Novia, dkk. 2012. Dasar – dasar Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jember: UPT Penerbitan Unej
Sarwono, S.W. 2010. Teori – Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers
Anonim.Pengertian Self Efficacy.[Serial on line].http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengertian-self-efficacy.html [8 Maret 2015]
Hasanah, A.U, Sulastri.2011.Hubungan Antar aDukungan Orang Tua, Teman Sebaya, dan Iklan Rokok dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Bonyolali. [Serial on line].jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/ [9 Maret 2015]
Muharrani, T. 2011. Landasan Teori Self Efficacy.[Serial on line].http://repository.usu.ac.id/bitstream/ [10 Maret 2015]
Mukhid A.2009. Perspektif teori kognitif social dan implikasinya terhadap pendidikan.[Serial on line].download.portalgaruda.org/article.php? [9 Maret 2015]
Widanarti, A, Aisah Indati.2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial Keluarga dengan self efficacy pada remaja di SMU negeri 9 Yogyakarta. [Serial on line].http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/ [9 Maret 2015]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar