![]() |
Teori Perilaku Penunjang
(TEORI SOSIAL KOGNITIF)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perencanaan dan Evaluasi Promosi Kesehatan
Oleh:
Kelompok 1 sub 3:
Putri Suci Wulansari (122110101053)
Brahma Mahendra P. M (122110101152)
Della Rahmayasari Amin (122110101169)
Sri Ulandari (122110101146)
Herlina Wati (132110101105)
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS JEMBER
2015
A. TEORI PERILAKU PENUNJANG
1.
Perilaku
Menurut Lewit seperti yang
dikutip oleh Notoadmojo (1993), perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses
interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap,
dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan
kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah jika terjadi ketidakseimbangan
antara kedua kekuatan di dalam diri seseorang.
Perilaku menurut Skinner
(1938), merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan
dari luar). Pengertian itu dikenal dengan teori S-O-R
(stimulus-organisme-respons).
Sejalan dengan batasan perilaku
menurut Skiner maka perilaku kesehatan (healt
behavior) adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang
berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit dan faktor – faktor yang mempengaruhi
sehat sakit (kesehatan) seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan
kesehatan (Notoadmodjo, 2010).
Sedangkan menurut Blum (1974),
perilaku merupakan faktor kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi
kesehatan individu, kelompok, atau mayarakat (Maulana, 2009)
B. TEORI SOSIAL
KOGNITIF
1.
Sosial
Menurut Enda (2010), sosial adalah cara tentang bagaimana
para individu saling berhubungan. Sedangkan menurut Daryanto (1998), sosial
merupakan sesuatu yang menyangkut aspek hidup masyarakat. Namun jika dilihat
dari asal katanya, sosial berasal dari kata “socius”
yang berarti segala sesuatu yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan secara bersama – sama.
2.
Kognitif
Scheerer (1954) kognitif merupakan proses sentral yang
menghubungkan peristiwa – peristiwa di luar (eksternal) dan di dalam (internal)
diri sendiri. Festinger (1957) kognisi adalah elemen – elemen kognitif, yaitu
hal – hal yang diketahui oleh seseorang tentang dirinya sendiri, tentang
tingkah lakunya, dan tentang keadaan di sekitarnya. Sedangkan menurut Neisser
(1967), kognisi adalah proses yang mengubah, mereduksi, memperinci, menyimpan,
mengungkapkan, dan memakai setiap masukan(input)yang
datang dari alat indera (Sarwono, 2010).
C.
Teori Sosial Kognitif A. Bandura
1.
Albert Bandura
Albert Bandura
lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada. Beliau mendapat
gelar B.A. dari University of British Columbia, kemudian M.A. pada 1951, dan
Ph.D pada 1952 dari University of Lowa. Beliau magang pascadoktoral di Witchita
Guidance Center pada 1953 dan kemudian bergabung di Stanford University.
Saat di Stanford
University beliau bekerjasama dengan salah seorang anak didiknya, Richard
Walters. Buku pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression yang terbit pada tahun 1959. Saat berada di
University of Lowa, Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya
Miller dan Dollard (1941). Pada tahun 1960 an Bandura mulai menulis serangkaian
artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan
memperluas topik bahasannya hingga belajar observasional. Bandura menjadi
presiden APA tahun 1973, dan menerima APA award atas jasa – jasanya dalam
Distinguished Scientific Contribution tahun 1980.
Albert
Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (sosial
learning
theory),
salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen
kognitif dari pemikiran, pemahaman dan evaluasi. Albert Bandura menjabat
sebagai ketua APA (American Psychological Association) pada
tahun 1974 dan pernah dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award
pada tahun 1975.Pada tahun berikutnya, Bandura bertemu dengan Robert Sears dan
belajar tentang pengaruh keluarga dengan tingkah laku sosial dan proses
identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti tentang agresi
pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang pertama
mendapat gelar doktor sebagai pekerja di makmalnya. Bagi Bandura, walaupun
prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku,
prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau
ditolak oleh paradigma behaviorisme.
2.
Definisi Teori Kognitif Sosial
Teori ini
menyatakan bahwa tingkah laku tiruan adalah suatu bentuk asosiasi dari rangsang
dengan rangsang lainnya. Penguat (reinforcement)
memang memperkuat tingkah laku balas (response),
tetapi dalam proses belajar sosial hal ini tidak terlalu penting (Novia,
2012).
Teori sosial
kognitif merupakan salah satu teori behavioral, yang merupakan pengembangan
dari teori belajar sosial. Perbedaan dengan teori belajar lain yaitu teori
sosial kognitif mengembangkan unsur kognitif dan pengaruh sosial. Bandura
menekankan adanya pengaruh sosial dalam belajar perilaku. Bagi Bandura
interaksi sosial penting dalam belajar perilaku. Teori sosial kognitif juga
menjelaskan bahwa pengaruh sosial dan pengaruh kognitif mempengaruhi seseorang
dalam belajar perilaku. Proses belajar yang ditekankan dalam teori sosial
kognitif adalah proses belajar yang tidak langsung atau melalui observasi
(Prawitasari, 2006).
3.
Determinisme
Resiprokal (Reciprocal Determinism)
Bandura mengembangkan model
Determinisme Resiprokal yang
terdiri dari tiga faktor utama, yaitu perilaku, person / kognitif, dan
lingkungan. Faktor-faktor
ini bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi pembelajaran, yakni faktor
lingkungan mempengaruhi
perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif) mempengaruhi perilaku dan
sebagainya. Bandura
menggunakan istilah person, tapi memodifikasi menjadi person (kognitif) karena
banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor kognitif.

Dalam
model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif)memainkan peran penting.
Faktor person (kognitif) yang ditekankanBandura (1997,2001) pada masa
belakangan ini adalah self-efficacy, yakni
keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura
mengatakan bahwa self-efficacy berpengaruh
besar terhadap perilaku.
4.
Self Efficacy
Bandura (2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai “keyakinan manusia pada kemampuan mereka
untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka dan
kejadian-kejadian di lingkungannya” (dalam Feist & Feist, 2006).
Bandura mendefinisikan self efficacy sebagai judgement
seseorang atas kemampuannya untuk merencanakan dan melaksanakan
tindakan yang mengarah pada pencapaian tujuan tertentu. Bandura menggunakan
istilah self – efficacy mengacu pada
keyakinan (belief) tentang kemampuan
seseorang untuk mengorganisasikan dan melaksanakan tindakan untuk pencapaian
hasil. Dengan kata lain, self – efficacy adalah
keyakinan penilaian berkenaan dengan kompetensi seseorang untuk sukses dalam
tugas – tugasnya.
Bandura (1997)
mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap
kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan, dan berusaha untuk menilai tingkatan dan kekuatan di
seluruh kegiatan dan konteks. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana
seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal.
Selain itu Schunk (dalam
Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat
penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat
usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan dicapai. Hal ini sejalan dengan
yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan
penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam
mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu.
Berdasarkan definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seorang individu
terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai
suatu tujuan.
Menurut Bandura, keyakinan self-efficacy merupakan
faktor kunci sumber tindakan manusia (human egency), “apa yang orang
pikirkan, percaya, dan rasakan mempengaruhi bagaimana mereka bertindak”. Di
samping itu, keyakinan efficacy juga
mempengaruhi cara atas pilihan tindakan seseorang, seberapa banyak upaya yang
mereka lakukan, seberapa lama mereka akan tekun dalam menghadapi rintangan dan
kegagalan, seberapa kuat ketahanan mereka menghadapi kemalangan, seberapa
jernih pikiran mereka merupakan rintangan diri atau bantuan diri, seberapa
banyak tekanan dan kegundahan pengalaman mereka dalam meniru (copying)
tuntunan lingkungan, dan seberapa tinggi tingkat pemenuhan yang merekawujudkan.
Menurut teori kognitif sosial Bandura, keyakinan self-efficacy
mempengaruhipilihan orang dalam membuat dan menjalankan tindakanyang mereka
kejar. Individu cenderung berkonsentrasi dalam tugas yang mereka rasakan mampu
dan percaya dapat menyelesaikannyaserta menghindari tugas-tugas yang tidak
dapat merekakerjakan. Keyakinan efficacy juga membantu menentukan sejauh
manausaha yang akan dikerahkan orang dalam suatu aktivitas, seberapalama mereka
akan gigih ketika menghadapi rintangan, dan seberapaulet mereka akan menghadapi
situasi yang tidak cocok.
Keyakinan efficacy
dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dan menginterpretasi suatu
kejadian. Mereka yang memiliki self-efficacy yang rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang
mereka lakukan dalam menghadapi
tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk
mengalami gejala negatif dari stres.
Sementara mereka yang memiliki
self-efficacy yang tinggi akan
cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang
diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans
& Jensen, 2009).
5.
Jenis self-efficacy
Pandangan Hughes, Ginnett & Curphy (2009)
melihat self-efficacy terdiri dari dua
jenis;
a.
Positive
self-efficacy
Self-efficacy
dikatakan positif ketika
keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia percaya mempunyai kuasa untuk
menciptakan apa yang ia inginkan atau harapkan.
b.
Negative
self-efficacy.
Self-efficacy
yang negatif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang membuat dirinya lemah
atau melemahkan dirinya sendiri.
Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara
sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan
baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas
tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy
yang negatif seringkali menyerah dalam menghadapi kesulitan. Menurut Feist
& Feist (2008), manusia dapat memiliki self-efficacy
yang tinggi di satu situasi namun rendah di situasi lain.
6.
Dimensi self-efficacy
Menurut Bandura (1997) ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu:
a. Level
Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi.Penerimaan dan
keyakinan seseorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin
orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi
setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu
tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin
merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan. Dalam Zimerman
(2003) Level terbagi atas 3 bagian, yaitu:
1.
Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu
merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan
perilaku yang akan diambil.
2.
Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
3.
Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit.
b. Generality
Generality sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam
berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa
dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam
serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality
merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konteks tugas yang
berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.
c. Strength
Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan
individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan
kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan
terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan
tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang
diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu
itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka
akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.
7.
Sumber
Self-efficacy
Menurut Bandura ada empat sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu:
a.
Enactive mastery experience
Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa
masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai faktor
terpenting pembentuk self-efficacy seseorang. “Kesuksesan meningkatkan
nilai efficacy dan pengulangan kegagalan yang lebih rendah terjadi
karena refleksi kurangnya usaha atau keadaan eksternal yang tidak cocok”.
Perasaan efficacy yang kuat mungkin dapat dikembangkan melalui
pengulangan kesuksesan. Adapun dalam kegagalan, orang cenderung menganggap asal
kegagalan pada beberapa faktor eksternal seperti usaha yang tidak cukup atau
strategi yang tidak tepat. Usaha dalam melaksanakan tugas merupakan faktor lain
yang mempengaruhi efficacy. Ketika seseorang mengeluarkan usaha yang
besar dalam melaksanakan tugas yang dirasakan sulit, kesuksesan tidak akan
dengan kuat mempengaruhi self-efficacy seseorang di mana kegagalan akan
meruntuhkan self-efficacynya. Sebaliknya, performan yang rendah dengan
derajat usaha yang lemah memiliki sedikit dampak pada keyakinan self-efficacy
seseorang, tetapi kesuksesan dengan sedikit usaha membawa performansi
mereka pada tingkat selfefficacy yang tinggi.
b.
Vicarious experience
Merupakan cara meningkatkan self-efficacy
dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika
melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang/tugas
melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga
dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy
dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan
keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura,
1997). Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang
sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya
memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan
model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy.
Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy
menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh prilaku model (Bandura, 1997).
Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan
yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir
model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi
dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997).
c.
Verbal persuasion
Verbal digunakan secara luas
untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan
yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka
memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan
mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa
dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997).
d.
Physiological state
Seseorang percaya bahwa
sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya.
Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam
ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi
mengenai tingkat self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu
diinterpretasikan.Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas, apakah cemas atau
khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-efficacy tinggi)
dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut.Dalam
menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya
untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.
8.
Proses – proses Self Efficacy
Menurut
Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut
berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi
dan proses pemilihan/seleksi.
a. Proses kognitif
Proses kognitif merupakan proses berfikir, didalamya
termasuk pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan
tindakan manusia bermula dari sesuatu yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang
tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu yang selfefficacy- nya
rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat
tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi
oleh penilaian akan kemampuan diri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya
mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannya
dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).
b. Proses motivasi
Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui
kognitif. Individu memberi
motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui
tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat
mempengaruhi motivasi dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah
ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi
kegagalan (Bandura, 1997). Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator,
teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini
mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki
self-efficacy tinggi bila menghadapi kegagalan cenderung menganggap
kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya individu yang self-efficacy-nya
rendah, cenderung menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang
terbatas. Teori kedua outcomes
experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan.
Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa
yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga goal theory (teori tujuan),
dimana dengan membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi.
c. Proses afektif
Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi
emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka
menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang
kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya
kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi
cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak
mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi,
selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan
ancaman, membesarbesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang
sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997).
d. Proses seleksi
Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi
tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian.Individu cenderung
menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka.Bila
individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka
cenderung tidak menghindari situasi tersebut.Dengan adanya pilihan yang dibuat,
individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial
mereka (Bandura, 1997).
9.
Faktor –
faktor yang Mempengaruhi
Menurut Bandura (1997)
tinggi rendahnya self-efficacy seseorang dalam tiap tugas sangat
bervariasi. Hal ini
disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan
kemampuan diri individu. Menurut Bandura (1997) ada beberapa yg mempengaruhi self-efficacy,
antara lain:
a.
Jenis kelamin
Orang tua
sering kali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan
perempuan.Zimmerman (Bandura, 1997) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan
kemampuan dan kompetensi laki-laki dan perempuan.Ketika laki-laki berusaha
untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali meremehkan kemampuan
mereka.Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya.
Orang tua
menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibanding
laki-laki, walapun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda.Semakin
seorang wanita menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah
penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya.Pada beberapa bidang pekerjaan
tertentu para pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibanding
dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita unggul dalam beberapa pekerjaan
dibandingkan dengan pria.
b.
Usia
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama masa
kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung memiliki rentang waktu dan
pengalaman yang lebih banyak dalam mengatasi suatu hal yang terjadi jika
dibandingkan dengan individu yang lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit
pengalaman dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Individu yang lebih tua akan
lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan
individu yang lebih muda, hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang
individu miliki sepanjang rentang kehidupannya.
c.
Tingkat pendidikan
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat diterima individu pada tingkat
pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang yang lebih tinggi biasanya
memiliki self-efficacy yang lebih tinggi, karena pada dasarnya mereka
lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal, selain itu
individu yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak
mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam
hidupnya.
d.
Pengalaman
Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi
ataupun perusahaan dimana individu bekerja. Self-efficacy terbentuk
sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerjanya
tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang
dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi tidak menutup
kemungkinann bahwa self-efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut
justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga sangat tergantung kepada
bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya
selama melalukan pekerjaan.
10.
Aplikasi dalam
Kehidupan Sehari – hari
Berikut
merupakan contoh aplikasi teori self efficacy dalam teori kognitif sosial
Bandura:
a.
Orang yang
mengalami kelumpuhan akibat kecelakaan pasti mengalami trauma dan penurunan
motivasi untuk menjalani hidup. Disini self
efficacy dari orang tersebut menjadi rendah akibat kecelakaan yang dia alami.
Peran dari orang terdekat sangat dubutuhkan untuk meningkatkan self efficacy penderita misalnya
memberikan motivasi dan membantu untuk belajar berjalan kembali. Peran tersebut
merupakan salah satu sumber self efficacy
yang berasal dari orang lain. Sehingga self
efficacy dari penderita menjadi meningkat.
b.
Dalam konseling
karier.
Dengan
memperhatikan keempat sumber utama self
efficacy konselor karier dapat merancang intervensi individual dan kelompok
yang lebih efektif bagi laki – laki maupun perempuan.
c.
Seseorang yang
berkerjakeras mendirikan suatu usaha dari awal hingga sukses. Namun, karena dia
terlalu nyaman dengan kesuksesannya, akhirnya dia tidak menghasilkan inovasi –
inovasi baru dalam usahanya, yang akhirnya perusahaannya menjadi tertinggal
dari perusahaan yang lainnya. Pengusaha tersebut menjadi bangkrut. Namun karena
dia memiliki kerja keras, dia berusaha untuk membangun bisnisnya kembali dengan
berkaca pada pengalamannya dulu. Self
efficacy pengusaha tersebut menjadi meningkat. Si pengusaha tersebut
memotivasi dirinya dan dia meningkatkan keyakinannya bahwa dia mampu melakukan
apa yang dia harapkan serta bekerja keras untuk dapat melakukan apa yang ia
inginkan..
d.
Seorang murid yang self-efficiacy-nya
rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia
tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal.
11.
Kelebihan Teori
Teori
Kognitif Sosial lebih lengkap dibandingkan teori belajar yang lain karena
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem
kognitif orang tersebut. Perilaku kognitif meyakini pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon yang saling terkait
dan membentuk jaringan dalam otak manusia, dimana faktor kognitif akan menjadi
penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa, dan bertindak. Teori ini juga menjelaskan secara rinci berbagai proses
konsep kognitif seperti self efficacy.
12.
Analisis Jurnal
“Hubungan antara
dukungan orang tua, teman sebaya, dan iklan rokok dengan perilaku merokok pada
siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Bonyolali”
Madrasah tersebut memiliki jumlah siswa 420 yang
terdiri dari 173 siswa laki-laki dan 247 siswa perempuan. Dari hasil wawancara
dengan beberapa siswa, mereka mengatakan bahwa sebanyak kurang lebih 80% dari
jumlah siswa laki-laki kelas XI dan XII atau 89 siswa disana adalah perokok,
mereka merokok baik pada saat jam-jam istirahat maupun setelah pulang sekolah
Tujuan
penelitian ini adalah
untuk mengetahui hubungan antara orang tua, teman sebaya dan iklan rokok dengan
perilaku merokok Pada Siswa Laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali. Berikut adalah hasil penelitian:
1.
Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan orang tua dengan
perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan
kategori hubungan kurang kuat
Siswa
laki-laki Madrasah Aliyah negeri 2 boyolali merokok ada hubungannya dengan
dukungan orang tua, perilaku ini didukung karena faktor hubungan dalam keluarga
tidak erat, anak ingin diakui sebagai orang dewasa/mandiri,
sikap kedua orang tua yang membolehkan anak untuk merokok, pola asuh yang
kurang baik, tidak adanya pengawasan dari orang tua karena anak jarang di rumah
(kos/pondok pesantren). Remaja sebelum merokok berpikir semakin dirinya ingin
di akui sebagai orang dewasa, maka dia itu semakin berpikiran bahwa merokok itu
positif ke dirinya sendiri, karena motivasi tersebut dibangkitkan oleh kognitif
yang biasanya berperilaku sesuai dengan keyakinannya sendiri didorong oleh
faktor keluarga yang memang kurang pengawasan dari orang tua serta memang
jarang dirumah.
2.
Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan teman sebaya dengan
perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan
kategori hubungan kuat
Hubungan
perilaku merokok laki-laki Madrasah
Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kuatnya pengaruh teman sebaya. Adanya motivasi
anak berusaha menemukan jati dirinya, ketika remaja bergabung
dengan kelompok sebayanya maka seorang
remaja akan dituntut untuk berperilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan
norma yang dikembangkan oleh kelompok tersebut, maka apabila ada anggota
kelompok merokok, maka remaja cenderung mengikuti tanpa memperdulikan
akibatnya, hal ini juga di dukung lingkungan sekolah Madrasah Aliyah, dimana di
sekolah ini kental sekali dengan pengajaran agama Islam. Pengetahuan anak
tentang agama Islam merupakan penyaring responden dengan perilaku-perilaku yang
kurang baik, salah satunya perilaku merokok.
3.
Terdapat hubungan yang
signifikan iklan rokok dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki Madrasah
Aliyah Negeri 2 Boyolali dengan kategori hubungan cukup kuat.
Tidak
dijelaskan mengapa rokok memiliki hubungan cukup kuat dengan iklan rokok pada
perilaku merokok oleh siswa laki-laki Madrasah Aliyah Negeri 2 Boyolali.
Peneliti hanya bermain dengan perhitungan dengan kriteria uji
Hasil dari
penelitian bahwa terdapat hubungan yang kurang kuat dukungan orang tua dalam menghentikan
perilaku merokok siswa, disisi lain
faktor teman sebaya dan iklan rokok memiliki hubungan yang cukup kuat dalam perilaku merokok.
Pengaruh dari teman sebaya sangat berpengaruh dengan perilaku merokok siswa
karena terdapat kecenderungan untuk mengikuti budaya yang ada di dalam
kelompoknya, bahkan ada beberapa kelompok yang menuntut untuk berperilaku sama
dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh kelompok
tersebut. Sama halnya dengan adanya pengaruh iklan rokok dengan perilaku
merokok siswa.Dari kedua faktor tersebut jika kita hubungkan dengan sumber-sumber self efficacy yang di utarakan
Bandura, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis
sangat berpengaruh terhadap pembentukan perilaku merokok siswa.
Seorang siswa
yang melihat sesuatu yang baru dan menganggapnya menarik bagi dirinya cenderung
untuk mengikuti hal tersebut tanpa memikirkan dampak jangka
panjangnya.Mayoritas dari mereka hanya ingin diterima disuatu kelompok dan
mengikuti budaya yang ada di dalam kelompok tersebut.Pengaruh persuasi verbal
dari teman kelompok merupakan salah satu penyebab dari timbulnya perilaku
merokok. Keadaan fisiologis siswa yang tergolong usia remaja juga berperan
dalam penguatan motivasi untuk berperilaku merokok karena karakteristik remaja
masih mencari jati diri dan rasa penasaran, yang mendorong untuk mengikuti
perilaku merokok. Peran pendampingan orang tua dan guru sangat dibutuhkan untuk
mengarahkan perilaku siswa agar tidak menyimpang.
Ada empat
sumber utama yang mempengaruhi self-efficacy, yaitu:
a.
Enactive mastery experience
Penguasaan atau pengalaman yang menetap adalah peristiwa
masa lalu atas kesuksesan dan/atau kegagalan yang dirasakan sebagai faktor
terpenting pembentuk self-efficacy seseorang.
Sikap permisif orang tua
dengan perilaku merokok anak dan ajakan teman sebaya merupakan faktor yang
dominan mempengaruhi perilaku merokok anak. Meskipun dukungan orang tua dengan
perilaku merokok siswa menunjukkan rata-rata bahwa orang tua cukup mendukung
dan tidak mendukung, tetapi perilaku merokok siswa justru dalam kategori
tinggi. Hal ini di akibatkan karena kurangnya pengawasan atau kontrol dari
orang tua terhadap perilaku merokok anak dikarenakan ada sebagian anak atau
siswa tersebut jarang ada dirumah dikarenakan kos dan ada yang di pondok
pesantren..
b.
Vicarious experience
Peran vicarious
experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh
persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model.
Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan
kegagalan model akan semakin mempengaruhi self-efficacy.
Remaja pada umumnya bergaul dengan sesama mereka, karakteristik
persahabatan remaja dipengaruhi oleh kesamaan: usia, jenis kelamin dan ras.
Kesamaan dalam menggunakan obat-obatan, merokok sangat berpengaruh kuat dalam
pemilihan teman. (Yusuf, 2006). Dalam pedoman kesehatan jiwa remaja (2008)
dijelaskan bahwa remaja lebih banyak berada diluar rumah dengan dengan teman
sebayanya. Jika dapat dimengerti bahwa sikap, pembicaraan, minat, penampilan
dan perilaku teman sebaya lebih besar pengaruhnya daripada keluarga misalnya,
jika remaja sama berperilaku merokok
dengan anggota kelompok yang populer, maka kesempatan baginya untuk
dapat diterima oleh kelompok menjadi lebih besar dan remaja cenderung mengikuti
tanpa memperdulikan akibatnya. Didalam kelompok sebaya, remaja akan berusaha
menemukan jati dirinya.
Hal ini juga di
dukung lingkungan sekolah Madrasah Aliyah, dimana di sekolah ini kental sekali
dengan pengajaran agama Islam. Pengetahuan anak tentang agama Islam merupakan
penyaring responden dengan perilaku-perilaku yang kurang baik, salah satunya
perilaku merokok.
c.
Verbal persuasion
Verbal digunakan secara luas
untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan
yang mereka cari.
Pengaruh kelompok sebaya dengan perilaku beresiko
kesehatan pada remaja dapat terjadi melalui mekanisme peer sosialization,
dengan arah pengaruh berasal kelompok sebaya, artinya ketika remaja bergabung
dengan dengan kelompok sebayanya maka seorang remaja akan dituntut untuk
berperilaku sama dengan kelompoknya, sesuai dengan norma yang dikembangkan oleh
kelompok tersebut.
d.
Physiological state
Seseorang percaya bahwa
sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai
kemampuannya..Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi
tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan
memperhatikan keadaan fisiologisnya.
Dalam penelitian ini, responden adalah seorang remaja. Mereka
tidak terlalu menghadapi dampak perilaku merokok. Bahkan efek kecanduan, cemas
dan khawatir masih belum terlalu dirasakan pada fisik yang di alaminya.
Daftar
Pustaka:
Azwar, S. 2003. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Maulana, H. 2009. Promosi Kesehatan. Jakarta: 2009
Notoatmodjo, S.
2010. Ilmu Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Novia, dkk. 2012. Dasar – dasar Promosi Kesehatan & Ilmu
Perilaku. Jember: UPT Penerbitan Unej
Sarwono, S.W. 2010.
Teori – Teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Rajawali Pers
Anonim.Pengertian Self Efficacy.[Serial on line].http://www.e-jurnal.com/2013/10/pengertian-self-efficacy.html [8 Maret 2015]
Hasanah, A.U,
Sulastri.2011.Hubungan Antar aDukungan
Orang Tua, Teman Sebaya, dan Iklan Rokok dengan perilaku merokok pada siswa laki-laki
Madrasah Aliyah Negeri 2 Bonyolali. [Serial on line].jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/ [9 Maret 2015]
Muharrani, T. 2011. Landasan Teori Self Efficacy.[Serial on line].http://repository.usu.ac.id/bitstream/ [10 Maret 2015]
Mukhid A.2009. Perspektif teori kognitif social dan implikasinya
terhadap pendidikan.[Serial on
line].download.portalgaruda.org/article.php? [9 Maret 2015]
Widanarti, A, Aisah
Indati.2002. Hubungan Antara Dukungan Sosial
Keluarga dengan self efficacy pada remaja di SMU negeri 9 Yogyakarta. [Serial on line].http://jurnal.psikologi.ugm.ac.id/index.php/fpsi/article/ [9 Maret 2015]
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Aini%20Mahabbati,%20S.Pd.,%20M.A./bandura0002.pdf
[9 Maret 2015]
http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2/natalia%20bab%202.pdf [9 Maret 2015]
https://www.youtube.com/watch [10
Maret 2015]
https://www.youtube.com/watch?v=D-j3DEoXaxo [10 Maret 2015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar